بسم الله الرحمن الرحيم
Pernah saya baca puisi yang berjudul ”Doa dan Harapanku” diselembar kertas putih karya seorang santri. Dalam puisi tersebut me_ngenangkan kita kepada cinta yang tersemai di dalam dada manusia. Terasa puisi tersebut menyejukkan hati para pembacanya. Tapi bukan semua publik. Mungkin hanya pribadi penulis sendiri.
Saya mengutip puisi tersebut bunyinya:
”Ya Allah, jika aku jatuh cinta, Pautkanlah hatiku pada seseorang yang melabuhkan cintanya kepada-Mu / Ya Allah, jika aku jatuh hati, Izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya berpaut kepada-Mu / Ya Allah, jika aku rindu, rindukanlah Aku pada seseorang yang merindukan syahit di jalan-Mu”
Di dalam kitab ihya di jelaskan bagaimana hakikat cinta yang tumbuh dalam dada setiap manusia. Orang yang ada di dunia ini mempunyai sifat cinta. sehingga bagi orang yang mendapatkan kebenaran cinta di namakan dengan dengan ”pecinta.” Tapi kepada siapakah yang hakikatnya harus dicintai?
Dalam bahasa Arab di sebutkan bahwa cinta ini merupakan asal kata dari bahasa Arab ”Habba.” Sedangkan dalam bahasa inggris berarti Love. Seseorang yang memiliki rasa cinta mempunyai sebuah ketentuan yang amat dalam di jiwanya untuk bangkit dan maju. Cinta di dalam islam ada yang di anjurkan dan ada juga yang sangat di larang. Tergantung diatas jalan mana cinta tersebut di rel_kan.
Puisi di atas bisa kita katagorikan sebagai refleksi dari sebuah kisah di masa Rasulullah, dimana seorang bertanya kepada beliau ketika sedang membawa khutbah. ”Wahai Rasulullah, kapankah terjadinya hari kiamat?” Beliaupun menjawab : ”Apa yang kamu persiapakan untuk hari itu?” Dengan jujur pemuda itu menjawab: ”Tidak ada yang melebihi cintaku pada Allah dan juga pada Mu, Wahai Rasullullah.” Rasulpun menyemangatkan :”Engkau bersama orang yang engkau cintai”
Cinta kepada Allah dan kepada Rasulnya harus di tempatkan di ”muka” semua rasa cinta. Sebagai diri manusia yang normal kita tentu juga cinta kepada keluarga, Ayah, bunda, guru, dan lain sebagainya. Rasa cinta itu tidak boleh membuat kita lupa akan cinta manusia kepada Allah sebagai Sang Khalik.
Saat cinta manusia berlabuh kepada seorang dara. Kadang sampai lupa kepada kodratnya. Sebenarnya masih ada yang lebih patut untuk di cintai dan di sayangi. Cinta kepada Allah dengan menyayangi diri sendiri. Sayang kalau badan kecil kita ini berbuat kemaksiatan. Sayang bila jasad kita semasa hidup bergelimang dengan dosa dan amat memilukan kalau kelak mendapatkan murkanya Allah swt di akhirat.
Memang jatuh cinta bukan sebuah hal yang tabu. Jatuh cinta adalah sebuah kewajaran bagi setiap manusia yang normal. Cinta kepada istri dengan memberikan hak dan kewajiban kepada mereka. memberikan kenyamanan hidup dalam berumah tangga. Sehingga terciptanya keluarga ”Sakinah Mawaddah wa Rahmah.” Cinta kepada orang tua dengan membalas budi baik mereka dan berakhlakul karimah dengan mereka. Cinta kepada guru dengan mematuhi dan mengamalkan ilmu yang telah di berikan demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Semua kebaikan berawal dari cinta kepada Allah swt. karena cinta, manusia di berikan jatuh hati dan selanjutkan cinta menghasilkan sebuah energi kerinduan yang amat mendalam. Perumpamaan ini dapat di rasakan oleh kaula muda yang sedang di hujani cinta, jatuh hati serta rindu.
Kalau tidak ada cinta tidak ada yang namanya rindu. Walaupun ada di SMS kata –kata rindu, tetapi itu barangkali hanya bayangan semu dalam tulisan saja. Bukan lahir dari lubuk hati paling dalam. Menulis nada-nada rindu memang mudah, tetapi mengimplementasikannya di dalam hati, ini yang amat payah. Walau ada juga sebaliknya.
Rindu kepada Allah swt dengan mencintai Allah. Cinta kepada Allah di tempuh melalui ”peubut suroh peujuoh tegah yang larang Allah bek takeurija.” Dalam bahasa indonesia di kenal : ”Kerjakan perintah dan jauhkan larangan Allah swt”
Motifasi di tumbuhkan oleh cinta. Cinta kepada rasul menjadi motifasi untuk selalu berselawat kepada beliau. Membacakan kitab Burzanji dan juga kitab Dalail khairat. Bukan malah melarang untuk tidak boleh berselawat. Cinta kepada guru menjadi termotifasi untuk mengenal ilmu yang di berikannya.
Misalkan saja cinta kepada pelajaran menulis, maka bila tidak ada hadir guru rasanya tidak senang. Perasaan kangen timbul bila guru tersebut beberapa hari tidak memberikan materi tentang pelajaran itu. Begitu juga cinta kepada ilmu Fiq. Bila tidak sempat mengaji kitab Al-Bajuri rasa kangen kepada pelajaran tersebut timbul. Rindu itu berawal dari cinta bukan cinta di telurkan oleh rindu.
Wawlahu A’lam...!!
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Refleksi sebuah puisi"
Posting Komentar