Ketika senja tiba, aku duduk sendiri menatapi sebuah sungai yang berada di depanku. Aku tidak tau harus bagaimana ketika semua keluargaku membenciku. Ingin rasanya aku hanyutkan diri ini dalam sungai yang berbatu besar, tapi aku malu ketika menatap kedepan, kanan dan kiri. di sisiku banyak orang yang sedang bercanda ria.
Mereka dengan anak-anak yang masih kecil terlihat bahagia. Sedangkan aku hanya tinggal sebatang kara sekarang. Sejak beberapa hari ini aku sering sendiri karena hubungan keluarga telah pupus harapan. aku dan istriku kini tak lagi akrab tetapi telah di pisahkan oleh sungai besar yang melebihi dari sungai yang di hadapanku sore ini. Pikiranku terus melayang memikirkan nasib yang telah melayang dari cita-cita.
“Untuk melewati arus sungai yang ada di depanku saja terasa sukar apalagi kalau harus memikirkan nasib hari ini.” Pikirku dalam hati.
kini telah nyata aku tidak bisa melewatinya. Arusnya deras, gemericik air yang ada di hadapan mengalir tajam bagaikan suara dedaunan yang di hempaskan angin topan.
Lama aku duduk di perairan batee iliek yang terkenal dengan julukan kota wisata. Tapi apa yang ada di benakku selama ini tidak bisa di hapus oleh air yang sedang menunggu maghrib tiba. walau sesamudra air yang ada di batae iliek namun kepedihan luka perpisahan tetap terasa.
Sekarang aku baru sadar betapa pahitnya masalah yang di hadapi. Hidupku penuh dengan rintang. Untuk menutupi kegelisahan aku ingin melimpahkan semuanya ke sungai ini, tapi aku sadar aku berdosa bila salah dalam mengambil kesimpulan.
Keinginku menuju ke seberang. Ingin mencapai negeri harapan yang lebih baik. Tapi akankah aku bisa melewatinya dengan hanya pangkal berenang yang telah terwarisi sejak kecil.
Pikiranku kacau. Kalau semuanya tidak jadi begini maka aku bebas menikmati alunan indah air dengan keluarga di sungai yang padat pengunjung ini.
Ketika keluarga tidak menjadi sebuah jannah aku bagikan di bakari dengan lautan es yang melebihi dari panasnya api. Betapa gersangnya hidup tanpa orang yang paling di cintai.
Entah kenapa kemarahanku membuat jembatan yang telah lama ku rajut menjadi putus. Aku tidak tau harus bagaimana lagi kalau bukan menghanyutkan diri ini untuk membersihkan segala noda dosa yang terlintas di pikiran.
“Apakah aku masih layak menghadapi sumua masalah ini?” Tanyaku dalam hati. Ini semua adalah masalah yang sangat menghimpit tubuhku, sakit rasanya. Matahari senja menjadi bersinar menerangi pikiranku yang selama ini ku pendamkan. Inginku berkata dengan air yang sedang mengalir sebagai pemulih penatnya pikiran kusam yang menjelma di hatiku.
Sebagai manusia yang tak tau apa-apa aku tidak ingin menghabiskan nyawaku yang hanya satu ini di sungai yang indah ini. Mungkin ini sebuah perenungan bagiku untuk bisa bersabar. Matahari tidak mengenal senja. Suara air tidak henti-hentinya menyapa diriku. Sementara warna langit mulai tua.
Senja mengajakku untuk kembali bercengkrama dengan air. waktu maghrib telah tiba. Kini wajahku, kusapu dan kubasahi dengan air sungai yang terasa dingin, sejuk dan mergigil tubuh walau bukan waktu pagi.
Pikiran selama berwuzhu’ ku buang jauh. Jauh. Kini yang tinggal adalah menyerahkan diri kepada ilahi rabbi sebagai sang pencipta yang menciptakan aku dan seluruh orang yang kulihat di sungai berbatu ini.
Antara sore dan maghrib mengingatkan ku pada sebuah kejadian yang dulunya memisahkan jembatan yang selama ini terhubungkan. Waktu itu, kejadian yang paling menyedihkan sewaktu aku pulang dari sawah. Cangkul di bahu kanan sedangkan parang di tangan kiri. aku sangat capek mencangkul tanah yang keras bagaikan batu. Suasana keluarga pengantin baru setahun menikah tidak ada lagi. Istriku tidak mencintaiku. Aku bagai hidup sebatang kara saat kami berdua. Yang sekarang tinggal hanya sebuah kejadian malang yang menimpaku.
Nyala mentari dalam sebuah kebaikan telah luntur. Aku di didikan oleh sebuah prahara keluarga untuk mengenang nostalgia indah yang telah hancur. Tantangan hidup yang kuhadapi selama ini menjadi tamu yang datang menjengukku. Ingin ku bercerita Dengan air, ingin rasanya aku marah, ingin memukul, ingin menendang, tapi apakah aku bisa meredamkan kekhilafanku.
“Masa pengantin baru telah berakhir bagiku” pikirku dalam hati.
Langit merah jingga menjadi lampu dilubuk hatiku senja ini. Bayangan senja membukakan semua memory perasaan lamaku. Kenangan ini menjadi memori baru dalam hidupku. Langit menutupkan hari ini dengan warna merah jingga. Air sungai selalu saja mengalir dengan lembutnya seolah menyapaku untuk jangan lagi bersedih.
Selama langit masih terbentang, harapan untuk bahagia masih ada. Masalah keluarga ini menjadi palajaran baru bagiku. Ia mengajarku untuk kenyang dengan masalah kehidupan. Semuanya harus ku jalani juga. Akankah aku bahagia dalam hidup menderita?
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Mentari senja di Batee Iliek"
Posting Komentar