بسم الله الرحمن الرحيم
Berjumpa dengan Alumni MUDI membawa cerita terindah untuk di tulis. Karena kisah sedih, senang, terangkum dalam beberapa episode generasi. Kadang ketika berjumpa Alumni ada kisah senang yang diutarakan. Dan ada juga kisah sedih yang di sampaikan. Namun semuanya adalah ”Ibrah” bagi generasi selanjutnya dalam mengarungi kehidupan ini.
“Kami dulu mengaji di Samalanga tidak serapi sekarang ini. Untuk merapikan karung harus pasang kayu diatas dan dibawah dengan dimasukkan kedalam sarung. Kemudian di gantung kayu diatas. Sedangkan kayu dibawah dibiarkan bebas tergantung sendiri. Untuk merapikan kain sarung. Berbeda dengan anak-anak sekarang. Dulu, Minta sarung pada emak tidak di kasih. Cukup satu saja dulu karena masih bisa dipakai. Nanti kalau sudah jadi Tgk bergoni bawa pulang untuk emak.” Begini kira-kira cuplikan cerita ketika saya bertemu dengan salah satu alumni MUDI di daerah saya tinggal.
Kebiasaan memakai kain sarung menuntut untuk rapi. Rupaya guru-guru kita zaman dahulu merupakan orang-orang yang rapi juga. Makanya ketika berjumpa dengan Alumni hari Selasa (23 April 2013) sudah nampak pada pakaian beliau sehari-hari.
Apa yang beliau rasakan sekarang ternyata benar sesuai dengan yang dikatakan oleh emaknya dulu. Sekarang sudah banyak kain yang beliau miliki. Ada dari sedekah orang lain maupun beliau beli sendiri.
“inoe nah, han ek ta peuade ta pakek ija krong” papar beliau dengan nuansa gembira. Seolah ingin mengatakan bahwa ilmu dan kesusahan dulu sekarang baru beliau rasakan.
Cerita gantung kain untuk merapikan bukanlah cerita baru bagi pencari ilmu zaman dahulu. Selain ilmu didapatkan juga pengalaman berharga untuk di “telurkan” kepada generasi sesudahnya. Paling kurang walaupun tidak lagi di amalkan, cerita seperti ini membawa nuansa tersendiri dalam khazanah literatur menuntut ilmu di dalam dayah.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Gantung Sarung "
Posting Komentar