بسم الله الرحمن الرحيم
Ketika mengaji didayah keyakinan masuk dalam katagori rukum iman. Keyakinan mempunyai enam rukunnya. Biasa disebut dengan rukum iman ada enam perkara. Semua itu didahului oleh kata “PERCAYA.” Orang yang tidak percaya berarti iman beliau masih tipis bahkan bisa dikatakan belum ada.
Belajar ilmu agama harus mengedepankan iman. Berbeda dengan belajar pada orang kafir. Disana tidak didahulukan iman. Mereka mendahulukan filosofi/logika. Sehingga bisa keluar kata: “Tinggalkan iman saat belajar. Dan kita belajar berlogika tentang agama islam.”
Addinu mir rabbi lan min ra’si. Artinya; Agama dari Tuhan Bukan dari otak cemerlang.
Saya copy paste sebuah tulisan yang agak menyentil keyakinan islam. Tulisan ini dari sebuah koran lokal yang dipublikasi tanggal 11 Maret 2012, Berikut:
=*=
[] Padahal, awal perkembangan Islam pada abad 14 M di Aceh, kesenian merupakan media ampuh bagi syiar Islam. Lewat syair, hikayat, musik rapai dan tarian, dakwah Islam disebar hingga masyarakat pelosok Sumatera secara damai. Namun kala itu eksistensi koreografer perempuan cenderung tidak mendapat ruang. Sejarah tari Likok Pulo, Rabbani Wahet, Rapai Geleng, Seudati, Saman, dan semacam itu menunjukkan pada kita bahwa peran laki-laki sebagai aktor utama begitu dominan dalam berbagai aktivitas estetik yang bersifat religius. Peran laki-laki terbuka bebas dalam berbagai interaksi sosial, juga aktivitas kesenian.
Keterbatasan peran kaum perempuan dalam dunia tari berkait erat dengan berbagai kepentingan sosial, politik, dan agama. Modus ini dilegalkan dalam konstruksi sistem lembaga budaya dan agama. Kaum perempuan cenderung dikucilkan ketika mereka mulai tumbuh dewasa dan alat reproduksi mulai berfungsi. Kondisi biologis semacam ini menjadi sebentuk proses awal pengucilan kaum perempuan dalam rumah. Status “jorok” atau “sakit”, karena itu perempuan harus dijauhkan dari berbagai interaksi sosial, budaya bahkan agama.
Secara tersirat, dalam ruang sosial maupun personal yang bersifat sakral (ibadah), wanita selalu diberi rambu batasan untuk ruang gerak. Karena wilayah ini merupakan hak dan tanggung jawab laki-laki. Lain hal di ruang privat (keluarga), kaum perempuan berposisi seperti pengabdi, patuh pada otoritas suami dan anak. Situasi seperti ini menyebabkan aktivitas kaum perempuan menjadi terisolasi, hingga legalitas kepemilikan dunia tari pun dikuasai oleh kaum laki-laki.
Tambahan lagi, tidak lahirnya seorang penari dan koreografer perempuan Aceh juga banyak disebabkan oleh mitos. Mitos “darah kotor” dalam pranata sosial merupakan mekanisme normatif untuk mengekang dan membatasi peran perempuan agar tidak menggugat kuasa laki-laki. Sampai hari ini, mitos tersebut direproduksi dalam berbagai aktivitas estetik saat mana kaum perempuan ingin menjadi pencipta tari. Mitos ini pun seolah sakral, menjadi pegangan dan pola laku tindakan keluarga dan masyarakat dan lamat-lamat meluas secara sadar menjadi suatu konvensi sosial bahwa wanita dewasa tabu untuk menjadi seorang koreografer. Tabu ini telah berabad-abad dipelihara hingga menjadi suatu keyakinan. []
=*=
Kita akui penulis opini ini pinter. Beliau menulisnya dengan bahasa yang indah dan enak dibaca. Kualitas penulis profesional. Namun, dari tulisan ini terasa menghantam “surah Iman.”
Tidak mengapa!. Karena loyalitas penulis itu bisa dinilai dari tulisannya. Sama seperti mengkritik seorang ibu telah melahirkan beliau. Lalu beliau minta ibu beliau menjadi penari koreografer. Lambat laun pasti bisa merasakan sendiri hikmah dari lubuk hati yang dalam. Karena tadi yang dipermasalahkan kenapa di aceh tidak lahir penari-penari yang bisa menghibur.
***
Iman ini timbul dengan 6 sebab, yaitu:
- Awwaliyat, menyakini sesuatu ada karena dia merupakan bahagian dari komponen tertentu secara lengkap. Misalnya kita yakin satu merupakan bagian dari dua karena dua mangga terkumpul dari satu mangga ditambah satu.
- Musyahadat, meyakini sesuatu karena diperdapatkan oleh panca indra yang 5. Misalnya kita yakin ada bau harum dibaju. Karena kita mendapatkannya dengan aroma penciuman.
- Mujarrabat, meyakini sesuatu karena berulang-ulang terjadi dan diperdapatkan dengan panca indra yang lima. [ perlu ikhtiyar]. Misalnya: keyakinan mabuk minum arak gara-gara berulang-ulang dilakukan.
- Mutawatirat, meyakini sesuatu karena datangnya dari sejumlah orang yang tidak mungkin mereka berdusta. Seperti kita percaya kepada Nabi, percaya kepada Imam Syafi’I, percaya kepada Ibnu Hajar telah menjadi ulama dizamannya.
- Haddasiyat, [tidak perlu ikhtiyar dengan panca indra]. Keyakinan dibetulkan sendiri oleh akal yang sehat dan panca indra tanpa perlu berulang-ulang mengerjakan. Contohnya: sinar matahari menyinari bumi dapat menguningkan buah-buahan yang ada dipohon.
- Mahsusat, keyakinan yang dihukumkan oleh anggota yang zahir. Misalnya saja: api membakar tangan, ketika tangannya diletakkan diatas bangku api.
Nah, untuk jawabah bagi persoalan yang dituliskan oleh penulis opini diatas. Mungkin keyakinan orang islam di Aceh sekarang ini adalah bersumber dari mutawatirat. Jadi “Agama dari rabbi bukan dari penulis opini.”
Wallahu a’lam bissawab.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Mengapa Yakin Itu Penting?"
Posting Komentar