Hari Rabu, 30 september 2009 sebuah tulisan yang amat mengena terpampang di layar koran serambi Indonesia. Penulis sendiri merasa ini merupakan tulisan yang amat membius. Tapi jangan mengambil di segi negatif terhadap apa yang di paparkan. Ambillah yang positif saja.
Saya mengutip tulisan nya begini:
Bila di sebutkan nama ulama sekarang maka akan miring pada persoalan keduniawian seperti persoalan politik. Ulama dahulu sibuk mencari ilmu di Mekkah sedangkan ulama sekarang berpuas diri dengan kualitas ilmu yang di dapatkan di Aceh. Ulama itu di kenal karena karya bukan karena persoalan sosial politik. Ulama di kenal karena kehebatan gurunya bukan karena kedekatan dengan penguasa. Mari kita menanti ada ulama aceh masa kini yang bisa menghasilkan karya-karya yang bisa di nikmati oleh generasi aceh berikutnya.
Berdasarkan dari hasil pengamatan tulisan di atas. Saya menarik kesimpulan agar para adinda-adinda di Aceh mencari ilmu bukan hanya didayah Aceh tapi juga pergi ke luar negeri untuk menimba ilmu sehingga mereka bergelar ”Ulama” dan juga menulis untuk anak banga ke depan.
Nah, dari tulisan yang saya kutip tersebut perlu pembaca ketahui bahwa ilmu di Mekkah sekarang ini sudah berpindah ke Aceh. (jangan kaget dulu). Mungkin penulis tulisan tersebut tidak mengetahuinya makanya mengwasiatkan kepada adinda untuk belajar di luar negeri. Tak ubahnya seperti ikan yang menganggap aquarium sebagai lautan. Yaa. Karena ia tidak berada di laut. Ia hanya terpenjara oleh kata-kata Mekkah. Padalah dunia ini bukan mekkah saja. Apakah Aceh bukan dunia?.
”Kualitas ilmu yang ulama cari di masa dahulu telah berpindah kedalam hati ulama-ulama di Aceh”. Ini yang perlu ditempelkan di dada. Makanya backgrond dayah tetap istikamah di dalam menuntut ilmu di dayah. dayah sekarang ini adalah ibarat lautan atlantik yang sangat luas. Ikan yang pernah berenang di laut lepas akan merasa terpenjara bila berada di aquariaum. Kalau di tanya, ikan tidak akan mau berpindah ke Aquarium walau di hiasi dengan lukisan batu karang yang indah di belakangnya, karena ia telah berenang di laut yang sangat luat. Kualitas air yang beriak dan lezat telah di rasakannya.
Hari selasa kemarin saya bertemu dengan teman se_angkatan dulu semasa MAN. Beliau menceritakan tentang seorang teman yang menawarkan kuliah gratis di salah satu universitas di Aceh. Jurusan yang di buka adalah jurusan perbandingan mazhab. Sebuah jurusan yang sangat berbahaya bagi kehidupan agama di Aceh kedepan. Tapi berdasarkan penuturan dari teman saya ini beliau mengopini bahwa ini yang mantap karena kalau ada ajaran baru di Aceh bisa mereka yang selesaikan.
Beginilah kehidupan di luar dayah. Sebahagian orang hanya mengetahui yang kuning itu emas. Yang bersisik itu ikan. Tapi perbedaan tidak mereka pikirkan. Mereka tidak tau bahwa harimau itu bukan kucing. Besar. Mereka hanya kenal dengan kucing. Kenal dengan emas dan juga mengetahui ikan tapi tidak mengenal yang sebaliknya.
Perlu di ketahui. Yang kuning itu bukan berarti emas. Bisa juga senter, polpen dan lainnya. Perlu juga di ketahui yang bersisik itu bukan ikan. Boleh juga buah nenas. Ini tak ubahnya sangkaan semua yang kuning itu emas. Ini yang salah besar.
Tapi saya tidak mengatakan kepada teman saya secara langsung. Takut nanti malah terjadi hal yang tidak di inginkan. Akh, biarkan saja dia menganggap begitu asal jangan dia yang belajar di situ.
Belajar perbandingan mazhab tidak ubahnya seperti putaran kipas angin. Semua baling-balingnya berputar dari kanan ke kiri mengikuti arah jarum jam. Putaran tersebut tidak pernah salah ketika kipas angin di hidupkan. Putaran tersebut mengeluarkan angin yang bisa menghembus kertas di hadapannya menjadi berserakan. Susah ketika kertas tidak lagi teratur duduk di tempatnya.
Beginilah gambaran belajar perbandingan mazhab. Ilmu hukum yang di ketahui mengakibatkan masalah yang telah di atur dengan rapi oleh imam mazhab yang empat amburadur gara-gara seorang yang berinisial kipas angin menghembuskan fatwa-fatwa angin yang memecah belah empat tumpukan kertas hukum yang teratur.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "tiger intelektual"
Posting Komentar